Kamis, 12 Juli 2012

Novel The Westlife Story part 5


“kami Cuma mau kamu tarik kata-kata kamu untuk tidak memecat Mark dari Westlife.”jawab Shane yang tidak kalah kesalnya.
Akhirnya tidak ada pilihan lain, Simon menarik kata-kata nya itu. Kami segera menuju rumah Mark.
“oh, jadi itu yang membuat Mark berdiam terus dikamar.”kata papaku pada mereka.
“iya, Om. Jadi Mark ada dikamar, boleh kami masuk.”tanya ku sopan.
“tentu saja boleh, Shane. Masuk saja.”kata papa ku.
Kami menuju kamar Mark, tapi ternyata pintu kamar terkunci.
“Mark, dirimu didalam kah?”tanya Kian padaku.
Aku mendengar kalau itu suara mereka, tapi aku enggan bertemu dengan mereka aku tidak ingin keluar kamar sekarang.
“kalian ngapain kesini, kalian pulang saja. Lanjutkan latihan kalian itu.”ucapku dari dalam kamar.
“Mark, ini gue Shane. Ayolah, keluar.”kata Shane yang ikut membujuk aku.
“Gak, Shane. Tinggalin gue sendiri, gue lagi nggak mau diganggu.”teriak ku dan akhirnya mereka mengalah dan pergi dari kamar nya.
“mereka beneran pergi ya, maafin aku teman-teman.”aku hanya bisa bersedih saja.
*
Kami gagal membujuk Mark untuk kembali ke studio, tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk bisa membawa Mark bergabung dengan kami.
“pokoknya, sebelum ada Mark. Gue nggak mau latihan.”ucap Bryan pada kami.
“iya, Bry. Gue setuju sama loe, biar bagaimana pun Westlife itu impian Mark juga kan.”kata Kian.
“tapi, kenapa gue merasa ada yang aneh dengan Mark ya.”kataku pada mereka.
“aneh? Aneh gimana, Shane?”tanya Nicky padaku.
“iya, belakangan ini gue sering ngeliat Mark mimisan dan jatuh pingsan dan wajahnya itu pucet banget.”jawabku.
“iya, Shane benar. Gue juga merasakan hal itu.”kata Kian menyetujui ucapanku.
“sebenarnya Mark kenapa, ya. Jangan-jangan, Mark menyembunyikan sesuatu.”kata Bryan mulai curiga pada Mark.
“gue juga semakin curiga, Bry. Tapi gimana caranya, kita tau.”tanyaku.
Mereka akhirnya terdiam dan tidak bisa menjawab akan pertanyaanku setelah itu aku pamit pulang dan aku memilih untuk menemui Mark. Setiba dirumah Mark..
*
Sudah sehari aku berdiam diri di kamar, mataku pun agak sembab karena terus menerus bersedih. Bagaimana tidak, aku divonis dokter mengidap kanker darah dan aku sembuh apabila aku sudah dapat donor tulang sumsum belakang, siapakah yang bisa membantuku? Ya Tuhan...
“Mark.”sapa seseorang dari luar.
“Shane, kenapa dia kembali lagi.”ucapku dalam hati, “iya, Shane.”
“bolehkah aku masuk?”tanya Shane dari luar.
“ehm, sebentar.”aku menghapus air mataku lalu ku buka pintu.
“hai, Mark. Syukurlah kamu mau bukain pintu nya.”ucap Shane tersenyum.
“ada apa, loe kesini Shane?”tanyaku pada Shane.
“Mark, ada hal yang mau aku tanyakan ke kamu.”tanya balik Shane padaku.
“kamu mau tanya apa, Shane?”tanyaku lagi seraya menutup pintu kamar.
“loe sebenarnya kenapa sih, kenapa sikap loe aneh banget hari ini.”tanya Shane lagi.
“aneh, gak kok gue biasa aja.”jawabku tenang.
“jangan bohong loe, Mark. Gue tau kalau loe lagi nyimpen masalah, cerita aja ke gue.”Shane menatap mataku.
“gue nggak apa, Shane.”kataku mengalihkan pandanganku dari Shane tapi Shane tetap membuatku terus menatap matanya.
“ayo, Mark. Katakan sekarang, loe kenapa?”tanya Shane memegang pundak ku.
“aku gak bisa cerita ini sekarang, Shane. Maaf, aku nggak bisa.”jawabku seraya melepaskan tangan Shane dari pundak ku.
“Frediee..”ucap Shane memanggil nama lainku.
“boleh aku minta sampel darah kamu, Shane.”tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“hah, buat apa Mark.”tanya Shane balik.
“Astaga aku keceplosan, harusnya aku tidak bilang ini ke Shane.”ucapku dalam hati. “gak apa kok Shane, tadi gue Cuma bercanda aja.”jawabku tersipu.
Aku berpura-pura menyenggol foto ku, dan alhasil kaca nya pecah.
“hei, Mark. Hati-hati, ada kaca pecah.”teriak Shane yang melihatku hampir mundur dan kaki ku hampir saja mengenai pecahan itu.
Aku melihat Shane langsung memungutnya sampai tiba-tiba jari Shane berdarah, rencana ku berhasil.
“hah, tangan loe berdarah Shane. Gue obatin ya.”aku menawarkan diri.
Aku pun mengambil kesempatan itu, dan aku mengambil darah Shane diam-diam. Setelah itu, aku mengobati luka jari Shane.
“maaf, Shane. Gue nggak sengaja, maaf ya.”sesalku pada nya.
“iya, gak apa kok Mark.”kata Shane tetep tersenyum.
“maafin gue, Shane. Maaf karena gue terpaksa melakukan ini ke loe,tapi ini demi kesembuhan gue. Gue juga nggak mau membuat loe semua sedih.”ucapku dalam hati seraya meneteskan air mata.
“hei,Mark. Kenapa loe sedih? Loe masih ngerasa bersalah ya. Gue nggak apa kok, ini Cuma luka kecil aja. Nanti juga sembuh,Mark.”kata Shane menghibur ku.
“gue nggak sedih karena itu kok, Shane. Tapi something aja.”aku pun berusaha tersenyum pada Shane. “udah, jangan kena air dulu ya.”
“iya, Mark. Sstt, udah dong jangan sedih. Nanti gue ikutan sedih.”Shane masih menghibur ku dan aku pun memilih untuk memeluk nya.
“Shane.”ucapku sedikit tersedu.
“kamu kenapa sih,Mark? Kalau kamu memang lagi ada masalah, cerita aja.”ucap Shane pelan seraya mengelus-elus rambutku.
Aku terdiam sejenak, dan berpikir hingga akhirnya..
“sanggup kah kamu kehilangan aku sekarang, Shane?”tanyaku pada Shane dan langsung melepas pelukan nya.
“kenapa loe bicara seperti itu? Jelas gue nggak sanggup, Mark.”jawab Shane dengan tegas.
“loe yakin dengan jawaban loe itu, Shane.”tanyaku ragu.
“loe masih ragu, Mark.”tanya balik Shane padaku dan aku hanya mengangguk pelan.
“tuh, loe diem aja. Itu artinya gak ada salahnya kalau gue ragu sama loe.”kataku seraya berdiri menjauhi Shane.
“Mark, loe salah kalau loe masih ragu dengan gue. Loe itu udah gue anggep sebagai adik gue sendiri.”kata Shane mendekatiku. “Mark, sejak awal kita bertemu gue udah mulai nyaman deket loe, loe itu orang yang enak diajak share apapun dan loe juga baik banget sama loe.”kata Shane panjang lebar.
“gue mau tanya sesuatu, kalau gue sakit parah dan gue butuh donor sesuatu apa yang akan loe lakukan?”tanyaku.
“ehm, gue akan maju jadi pendonor buat loe.”jawab Shane mantap.
Aku hanya dapat menatap mata Shane kali ini “Ya Tuhan, dia kah yang akan jadi malaikat penyelamat aku. Tapi aku nggak mau kalau nanti nya dia kenapa-napa.”
“Mark, hei.”sapa Shane yang melihatku melamun. “kenapa loe ngelamun?”tanya Shane.
“Shane, mending loe pulang aja deh.”pintaku.
“kenapa, Mark?”tanya Shane padaku.
“ini udah malem, Shane. Gue capek, mau istirahat.”jawabku.
“hm, ya udah. Gue pamit pulang, besok gue kesini lagi.”kata Shane.
“gak perlu, bukannya loe ada janji sama Gill. Mendingan loe ketemu sama Gill, daripada loe kesini.”perintahku keras.
“gak, Mark. Gue ketemu Gill, untuk mendengar jawaban dia itu aja.”kata Shane yang tak kalah kerasnya.
“loe keras kepala banget jadi orang, gue bilang jangan pernah temuin gue lagi Shane.”teriak ku.
“Ya Tuhan, Mark. Tega ya loe, ngusir gue kayak gitu. Gue pikir loe beneran  jaga kata-kata loe yang bakalan anggep gue sebagai kakak loe tapi ternyata sia-sia, padahal gue beneran sayang banget sama loe. Tapi kenapa loe seperti ini, Mark?”kata Shane tetep keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar