“kami Cuma mau kamu
tarik kata-kata kamu untuk tidak memecat Mark dari Westlife.”jawab Shane yang
tidak kalah kesalnya.
Akhirnya tidak ada
pilihan lain, Simon menarik kata-kata nya itu. Kami segera menuju rumah Mark.
“oh, jadi itu yang
membuat Mark berdiam terus dikamar.”kata papaku pada mereka.
“iya, Om. Jadi Mark
ada dikamar, boleh kami masuk.”tanya ku sopan.
“tentu saja boleh,
Shane. Masuk saja.”kata papa ku.
Kami menuju kamar
Mark, tapi ternyata pintu kamar terkunci.
“Mark, dirimu didalam
kah?”tanya Kian padaku.
Aku mendengar kalau
itu suara mereka, tapi aku enggan bertemu dengan mereka aku tidak ingin keluar
kamar sekarang.
“kalian ngapain
kesini, kalian pulang saja. Lanjutkan latihan kalian itu.”ucapku dari dalam
kamar.
“Mark, ini gue Shane.
Ayolah, keluar.”kata Shane yang ikut membujuk aku.
“Gak, Shane.
Tinggalin gue sendiri, gue lagi nggak mau diganggu.”teriak ku dan akhirnya
mereka mengalah dan pergi dari kamar nya.
“mereka beneran pergi
ya, maafin aku teman-teman.”aku hanya bisa bersedih saja.
*
Kami gagal membujuk
Mark untuk kembali ke studio, tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk bisa
membawa Mark bergabung dengan kami.
“pokoknya, sebelum
ada Mark. Gue nggak mau latihan.”ucap Bryan pada kami.
“iya, Bry. Gue setuju
sama loe, biar bagaimana pun Westlife itu impian Mark juga kan.”kata Kian.
“tapi, kenapa gue
merasa ada yang aneh dengan Mark ya.”kataku pada mereka.
“aneh? Aneh gimana,
Shane?”tanya Nicky padaku.
“iya, belakangan ini
gue sering ngeliat Mark mimisan dan jatuh pingsan dan wajahnya itu pucet
banget.”jawabku.
“iya, Shane benar.
Gue juga merasakan hal itu.”kata Kian menyetujui ucapanku.
“sebenarnya Mark
kenapa, ya. Jangan-jangan, Mark menyembunyikan sesuatu.”kata Bryan mulai curiga
pada Mark.
“gue juga semakin
curiga, Bry. Tapi gimana caranya, kita tau.”tanyaku.
Mereka akhirnya
terdiam dan tidak bisa menjawab akan pertanyaanku setelah itu aku pamit pulang
dan aku memilih untuk menemui Mark. Setiba dirumah Mark..
*
Sudah sehari aku
berdiam diri di kamar, mataku pun agak sembab karena terus menerus bersedih.
Bagaimana tidak, aku divonis dokter mengidap kanker darah dan aku sembuh
apabila aku sudah dapat donor tulang sumsum belakang, siapakah yang bisa
membantuku? Ya Tuhan...
“Mark.”sapa seseorang
dari luar.
“Shane, kenapa dia kembali lagi.”ucapku
dalam hati, “iya, Shane.”
“bolehkah aku masuk?”tanya
Shane dari luar.
“ehm, sebentar.”aku
menghapus air mataku lalu ku buka pintu.
“hai, Mark. Syukurlah
kamu mau bukain pintu nya.”ucap Shane tersenyum.
“ada apa, loe kesini
Shane?”tanyaku pada Shane.
“Mark, ada hal yang
mau aku tanyakan ke kamu.”tanya balik Shane padaku.
“kamu mau tanya apa,
Shane?”tanyaku lagi seraya menutup pintu kamar.
“loe sebenarnya
kenapa sih, kenapa sikap loe aneh banget hari ini.”tanya Shane lagi.
“aneh, gak kok gue
biasa aja.”jawabku tenang.
“jangan bohong loe,
Mark. Gue tau kalau loe lagi nyimpen masalah, cerita aja ke gue.”Shane menatap
mataku.
“gue nggak apa,
Shane.”kataku mengalihkan pandanganku dari Shane tapi Shane tetap membuatku
terus menatap matanya.
“ayo, Mark. Katakan
sekarang, loe kenapa?”tanya Shane memegang pundak ku.
“aku gak bisa cerita
ini sekarang, Shane. Maaf, aku nggak bisa.”jawabku seraya melepaskan tangan
Shane dari pundak ku.
“Frediee..”ucap Shane
memanggil nama lainku.
“boleh aku minta
sampel darah kamu, Shane.”tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“hah, buat apa
Mark.”tanya Shane balik.
“Astaga aku keceplosan, harusnya aku tidak bilang ini ke
Shane.”ucapku dalam hati. “gak apa kok Shane, tadi
gue Cuma bercanda aja.”jawabku tersipu.
Aku berpura-pura menyenggol
foto ku, dan alhasil kaca nya pecah.
“hei, Mark.
Hati-hati, ada kaca pecah.”teriak Shane yang melihatku hampir mundur dan kaki
ku hampir saja mengenai pecahan itu.
Aku melihat Shane
langsung memungutnya sampai tiba-tiba jari Shane berdarah, rencana ku berhasil.
“hah, tangan loe
berdarah Shane. Gue obatin ya.”aku menawarkan diri.
Aku pun mengambil kesempatan
itu, dan aku mengambil darah Shane diam-diam. Setelah itu, aku mengobati luka
jari Shane.
“maaf, Shane. Gue
nggak sengaja, maaf ya.”sesalku pada nya.
“iya, gak apa kok
Mark.”kata Shane tetep tersenyum.
“maafin gue, Shane. Maaf karena gue terpaksa melakukan ini ke
loe,tapi ini demi kesembuhan gue. Gue juga nggak mau membuat loe semua sedih.”ucapku
dalam hati seraya meneteskan air mata.
“hei,Mark. Kenapa loe
sedih? Loe masih ngerasa bersalah ya. Gue nggak apa kok, ini Cuma luka kecil
aja. Nanti juga sembuh,Mark.”kata Shane menghibur ku.
“gue nggak sedih
karena itu kok, Shane. Tapi something aja.”aku pun berusaha tersenyum pada
Shane. “udah, jangan kena air dulu ya.”
“iya, Mark. Sstt,
udah dong jangan sedih. Nanti gue ikutan sedih.”Shane masih menghibur ku dan
aku pun memilih untuk memeluk nya.
“Shane.”ucapku
sedikit tersedu.
“kamu kenapa
sih,Mark? Kalau kamu memang lagi ada masalah, cerita aja.”ucap Shane pelan
seraya mengelus-elus rambutku.
Aku terdiam sejenak,
dan berpikir hingga akhirnya..
“sanggup kah kamu
kehilangan aku sekarang, Shane?”tanyaku pada Shane dan langsung melepas pelukan
nya.
“kenapa loe bicara
seperti itu? Jelas gue nggak sanggup, Mark.”jawab Shane dengan tegas.
“loe yakin dengan
jawaban loe itu, Shane.”tanyaku ragu.
“loe masih ragu,
Mark.”tanya balik Shane padaku dan aku hanya mengangguk pelan.
“tuh, loe diem aja.
Itu artinya gak ada salahnya kalau gue ragu sama loe.”kataku seraya berdiri
menjauhi Shane.
“Mark, loe salah
kalau loe masih ragu dengan gue. Loe itu udah gue anggep sebagai adik gue
sendiri.”kata Shane mendekatiku. “Mark, sejak awal kita bertemu gue udah mulai nyaman
deket loe, loe itu orang yang enak diajak share apapun dan loe juga baik banget
sama loe.”kata Shane panjang lebar.
“gue mau tanya
sesuatu, kalau gue sakit parah dan gue butuh donor sesuatu apa yang akan loe
lakukan?”tanyaku.
“ehm, gue akan maju
jadi pendonor buat loe.”jawab Shane mantap.
Aku hanya dapat menatap
mata Shane kali ini “Ya Tuhan, dia kah
yang akan jadi malaikat penyelamat aku. Tapi aku nggak mau kalau nanti nya dia
kenapa-napa.”
“Mark, hei.”sapa
Shane yang melihatku melamun. “kenapa loe ngelamun?”tanya Shane.
“Shane, mending loe pulang
aja deh.”pintaku.
“kenapa, Mark?”tanya
Shane padaku.
“ini udah malem,
Shane. Gue capek, mau istirahat.”jawabku.
“hm, ya udah. Gue
pamit pulang, besok gue kesini lagi.”kata Shane.
“gak perlu, bukannya
loe ada janji sama Gill. Mendingan loe ketemu sama Gill, daripada loe kesini.”perintahku
keras.
“gak, Mark. Gue
ketemu Gill, untuk mendengar jawaban dia itu aja.”kata Shane yang tak kalah
kerasnya.
“loe keras kepala
banget jadi orang, gue bilang jangan pernah temuin gue lagi Shane.”teriak ku.
“Ya Tuhan, Mark. Tega ya loe, ngusir gue kayak gitu.
Gue pikir loe beneran jaga kata-kata loe
yang bakalan anggep gue sebagai kakak loe tapi ternyata sia-sia, padahal gue
beneran sayang banget sama loe. Tapi kenapa loe seperti ini, Mark?”kata Shane
tetep keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar